INDUSTRI KREATIF - Mike Mignola, pencipta karakter Hellboy, disebut-sebut sebagai sosok perindustrian komik yang secara konsep, desain, maupun gambarnya dinilai jenius tidak hanya oleh fans tapi juga kritikus.
Setelah sepuluh tahun mengerjakan proyek komik orang lain, sebagaimana obsesi para komikus andal, ia pun ingin menciptakan karakter rekaannya sendiri. Gaya gothic, bangunan zaman Victoria, Nazi, dan monster-monster murahan ala film horor, menjadi khasnya. Untuk itulah ia menciptakan Hellboy. Dunia yang ia ciptakan sendiri dengan gaya yang benar-benar ala Mignola.
Sebuah proyek idealis, yang justru laris manis.
Digaetlah John Byrne untuk membantunya mengembangkan ide-ide yang bertumpuk di kepalanya. Lahirlah kemudian Hellboy: Seed of Destruction. Obsesinya tak berhenti sampai di situ. Sukses di periode-periode awal, ia pun ingin menulis naskahnya sendiri. Di Hellboy: Wolves of St. August, ia pun melakukannya. Lagi-lagi, fans dan kritikus memujinya.
Walau tanpa John Byrne, ternyata Mignola mampu menunjukkan kualitasnya sendiri.
Brilian!
1 – Abaikan Persoalan Idealis Atau Komersil
Obsesi adalah salah satu pilar terbesar untuk membuat gairah kita dalam berkarya menjadi kokoh, dan idealisme adalah pondasinya. Pertanyaan yang sering berkelindan adalah: berkarya yang idealis atau komersil saja?
Semakin panjang dalam jiwa kita tarik ulur di antara idealis atau komersil, yang justru terjadi selanjutnya adalah tak jualah karya benar-benar lahir. Paling aneh tentu saja pernyataan: menulis buku yang sesuai dibutuhkan pasar adalah tidak idealis, karena buku idealis adalah buku yang kalau dibaca dahi pasti berkerut, kepala agak pusing-pusing, serta susah dicerna sekali waktu.
Idealis adalah berkarya di wilayah mana saja. Sebanyak pembaca yang bisa dijangkau. Sekuat apa pengaruhnya. Seluas kata benar-benar bisa memberi kontribusi agar dunia bisa lebih baik dihuni untuk semuanya. Sesuai dengan slogan B.P.R.D, organisasi Hellboy dan makhluk aneh lainnya bernaung, “In Absentia Luci, Tenebrae Vincu: saat cahaya tiada, kegelapan akan meraja.” Di sanalah karya kita mengambil perannya untuk menjadi cahaya.
2 – Hadirkan Jiwa, Semaikan Makna
Menulis adalah aktivitas yang bermula dari jiwa. Jika kau sudah menemukannya dalam dirimu, apa itu jiwamu, apa itu aktivitas yang ketika engkau melakukannya kau serasa ‘mati’ jika tak melakukannya barang sehari saja, kau telah menemukannya. Begitu cara gampang menemukannya. Maka, walaupun engkau telah tua, walaupun engkau telah dimakan usia, engkau tetap melakukannya. Karena itu adalah jiwamu, karena itu adalah duniamu.
Menulis itu butuh jiwa dalam melakukannya. Kenapa? Jika tidak begitu, tulisan tak akan mempunyai ruh, dan muatan pikiran yang kuat.
Berpeluh lelah dengan teori, bersimbah keringat dengan pemilihan diksi, tapi jika kau melakukannya hanya untuk meraih materi yang melimpah dan meruah, hanya untuk meraih kemasyhuran, percayalah, semua takkan bertahan lama.
Seiring waktu, peningkatan kualitas takkan kau dapatkan. Seiring hari, kualitas tulisan pun takkan kau peroleh. Karena ini semua bermula dari hal terdasar, dan kita menyebutnya dengan: jiwa.
Jika jiwa saja tak kau punya, kau hendak berbagi kepada dunia dengan apa?
3 – Engkau adalah Calon Aktor Sejarah, dengan Peradaban Sebagai Panggungnya
A big part of being creative is not simply about being ‘inspired’. It’s about GETTING THINGS DONE. Mengoleksi banyak inspirasi itu bagus. Akan tetapi, terlalu terlena dengan terlalu banyak inspirasi dan lupa berkarya, tentu tidaklah bagus. Jemputlah inspirasi. Akan tetapi, berdisiplinlah juga dalam berkarya.
Tak berbahagiakah engkau, saat justru dari tanganmu sendirilah sejarah menjadi alurmu? Tak riangkah engkau, saat justru peradaban tengah engkau sumbangi dengan goresan kekata yang tengah engkau upayakan?
Pada abad ke-13, buku-buku di seluruh perpustakaan Baghdad, Irak, dibakar. Dari sanalah kemudian muncul gagasan yang melegenda itu: bahwa bila kita ingin mengubah suatu peradaban manusia, bakarlah semua buku dan gantilah dengan yang baru, karena buku adalah salah satu tiang peradaban.
Bisa dikata, literasi menjadi nyawa peradaban yang tervital. Titik terakhir tertinggi peradaban adalah tulisan. Setinggi apapun peradaban, jikalah belum meninggalkan warisan berbentuk tulis, belumlah menjadi peradaban yang makmur dan berkepribadian luhur.
Melalui tulisan, generasi takkan hilang, tetapi justru mati satu tumbuh seribu. Jika para ilmuwan yang telah meninggal beratus-ratus tahun yang lalu tidak mentransformasikan ilmunya lewat tulisan, takkan pernah sejarah mengenang nama Al-Ghazali, Albert Enstein, Al-Farabi, dan nama-nama lain yang agung itu.
Tak ada sejarah tanpa adanya tulisan. Manusia pribadi, berada dalam eksistensi mitos, karena cerita dari mulut ke mulut yang beruntun dan turun temurun. Manusia sejarah, berada dalam eksistensi sejarah karena adanya tulisan, yang ia dikenang darinya turun temurun pula. Jika setiap pribadi dalam suatu bangsa mengerti betapa berharganya kemampuan menulis, tentulah bangsa itu akan menjadi besar dan berperadaban luhur. Kita bisa mengatakan dengan: negara maju adalah negara yang tingkat membaca dan menulisnya tinggi. Sedangkan negera terbelakang adalah kesebalikannya. Dan bila peradaban itu kita ibaratkan panggung, maka mereka yang menulis itu adalah aktor sejarahnya.
4 – Karena Karya adalah Pemantik Perubahan
Susunan kata yang powerful bukan lahir dari diksi yang rumit dan tidak memahamkan. Ia justru hadir dari kesederhanaan dan kedalaman makna di saat yang bersamaan. Kesederhanaan berarti menyajikan hal-hal rumit nan berbelit ke dalam susunan yang mudah dimengerti. Dan itu tidak mudah melakukannya.
Kedalaman makna berarti ada idealisme, keyakinan, dan pesan penting yang hendak kita sampaikan. Ketika pembaca membaca susunan kata yang kita torehkan, selalu ada makna-makna baru yang membuat mereka mengangguk mengerti, mengucap kata setuju, dan melompat berteriak, “Aha!”.
Begitulah kekuatan jiwa bekerja dalam sebuah tulisan: menyadarkan, membangun, kemudian menggerakkan mereka ke arah yang lebih baik. Bumi semakin menjadi tempat yang damai untuk ditempati. Kata semakin menjadi santapan menyedapkan nan menggairahkan kehidupan manusia.
Dan dari kekuatan jiwa, lahir semangat tak pernah menyerah untuk menuntaskan kerja kreativitas ini. Yang paling penting dari kekuatan jiwa: azzam yang kuat nan membahana akan mengalahkan mood yang datangnya tak pernah diduga itu.
Kekuatan jiwa yang mengalir ke dalam tulisan, akan menyebarkan ide-ide yang menggerakkan jiwa untuk bangkit tinggi. Satu kebaikan yang mencuat dari setiap rinai kalimat akan membawa perubahan-perubahan yang kita sendiri barangkali akan terpana dengan efeknya.
Suatu hari nanti, kita akan mengerti, kalimat-kalimat sederhana kita, tiba-tiba menjadi bahan perubahan banyak orang. Bukan kecerdasan, akan tetapi kekuatan jiwa yang menggerakan sajalah yang kemudian membuat dunia lebih baik. Mengapa sering terjadi tidak adanya titik persambungan antara pikiran dan tulisan kita sendiri? Karena tak ada jiwa saat melakukannya. Jadilah tulisan tak ada rasa. Dalam kondisi seperti itu, menulis akan terasa sangat melelahkan. Dan juga menggilakan. Akan tetapi, saat kedua hal itu nyambung, ide-ide deras mengalir dan gagasan-gagasan mengguyur bagai banjir.
5 – Saat Karya Selesai Ditunai, Ia Menghadirkan Bahagia Jua Puas Bagi Pekaryanya
“Menulis dapat menghasilkan perubahan pada sistem imunitas dan harmonal dalam merespons beban stress, dan meningkatkan hubungan serta kemampuan kita dalam menghadapi stres,” kata Joshua M. Smyth, psikolog di Syracuse University.
Empat tahun lalu, Veronica Chapa mengalami depresi berat. Dia patah hati. Kecewa dengan mantan pacarnya dan merasa heran mengapa dia bisa memiliki lelaki macam Joni yang tak pernah punya perhatian sedikit pun kepada dirinya.
Tidak mau melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya, Veronica mengikuti sebuah terapi. Harapannya, dengan terapi tersebut, dia dapat mengenal dirinya sehingga tidak salah lagi dalam mengambil keputusan.
Maka, ikutlah dia dalam sebuah kelompok terapi menulis. Karena latar belakangnya adalah penulis di bidang marketing, Veronica yang saat itu berumur 29 tahun ini, merasa terapi ini pastilah tak begitu sulit untuk diikuti. Tetapi ternyata, dugaan Veronica meleset. “Saya tahu saya hanya tinggal menulis pada kertas kosong yang disediakan,” katanya, “tapi kok rasanya sulit sekali ya menulis tentang diri sendiri,” terangnya jujur.
Pemimpin dari terapi ini, Michele Weldon, seorang penulis berjudul Writing to Save Your Life, memiliki solusi sederhana untuk Veronica. “Tulislah surat untuk diri sendiri.”
Veronica pun kemudian menemukan kunci dari kesulitannya tersebut. Lalu, mulailah Veronica menangis beberapa menit setelah menulis dua kata di kertasnya yang berbunyi: Dear Veronica. “Sekali dua kata itu tertuliskan,” katanya, “langsung terbukalah kepenatan, kekecewaan, serta kegelisahan yang saya alami. Semuanya seolah mengalir dan terurai keluar tanpa bisa ditahan.”
Tak perlu beralasan tak ada sarana. Ketiadaan laptop, personal computer, ataupun mesin ketik, bukanlah hambatan. Mulailah dengan sederhana saja.
Tuhan telah membekali tangan yang sedemikian menawan. Peganglah pena. Rasakan kata yang datang dari jiwa, mengalir melewati tangan, kemudian pena, lalu meliuk berderai mentera kertas yang putih bersih itu.
Rasakan seperti para petani menikmati semilir angin di gubugnya sembari menunggui padi untuk menjaganya dari gangguan beburung di udara dhuha yang bersahaja.
Rasakan seperti seorang pemahat tengah mencipta mahakarya. Rasakan seperti seorang pelukis menggoresi kanvasnya dengan warna-warna. Mulailah dengan sederhana saja.
“Mulailah secara sederhana,” kata Sandra Lee Schubert, “belilah sebuah buku harian atau buku catatan yang tidak terlalu mahal dan pilihlah sebuah pena favorit. Buatlah sebuah waktu keramat untuk diri Anda saat di mana Anda tidak mau diganggu. Tulislah apa yang ada di benak Anda. Apakah Anda tengah bergelut dengan masalah yang sulit dan rasa sakit? Mulailah dari sini. Uraikan masalah dan rasa sakit itu, siapa dan apa yang terlibat, mengapa hal ini bisa menjadi masalah bagi Anda, dan apa yang Anda rasakan ketika isu ini ada pada diri Anda.”
Sederhana saja. Mulailah dengan menterakan kekata dari keadaan jiwa yang tengah kita rasa. Lakukan sesering mungkin. Jika memungkinkan, setiap hari. Maka, itu akan menjadi catatan harian. Menurut Sandra, catatan harian adalah alat yang digunakan dalam jangka panjang untuk penyembuhan dan pertumbuhan personal.
Ini tidak membutuhkan kecakapan dan uang. Catatan harian dapat menjadi teman seumur hidup. Gunakan dengan baik, dan ini akan membalas Anda dengan kebahagiaan, pemenuhan, dan hidup yang lebih sehat. Beginilah, cara-cara sederhana namun membahagia jiwa dengan luar biasa.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar