Ramadan lekat dengan tradisi berkumpul bersama keluarga di rumah. Bagi para mahasiswa perantauan, datangnya Ramadan memang sangat dinantikan. Namun tak bisa dipungkiri betapa susahnya menyembunyikan kesedihan saat menyadari jika mereka terpisah sejauh ribuan mil dari keluarga. Segala cara dilakukan untuk menghibur diri yang ujung-ujungnya curcol ke media sosial. Bukan pelarian yang didapat, malah jadi baper kuadrat. Bagaimana tidak, hampir semua orang mengunggah momen kebersamaan dengan aneka sajian lezat bersama keluarga. Sementara mahasiswa perantauan nun jauh di negeri seberang hanya bisa menelan ludah hingga kering kerontang. Rindu mereka adalah rindu yang mahal dan Ramadan mereka jadi lebih menantang. Simak yuk curhatan mereka yang sering nongol di media sosial!
1. Waktunya sahur malah ketiduran
Malam sebelum sahur biasanya pergi ke supermarket terdekat untuk belanja makanan instan dan mampir kedai halal. Namun karena sibuk mondar-mandir, kami baru tidur hampir pukul satu dini hari. Saat jam sahur tiba kami masih molor karena alarm tak berbunyi atau berbunyi tapi dimatikan lagi dan tak satupun penghuni yang bangkit dari alam mimpi. Bangun-bangun sudah pukul lima pagi dengan mata nanar memandangi ayam goreng yang batal dinikmati.
2. Buka puasa kangen mama
Momen kebersamaan saat bulan puasa di rumah adalah hal paling kami rindukan di perantauan. Kehangatan keluarga dan nikmatnya masakan mama menjadi penyebab baper berkepanjangan. Apa kabar ayam bakar, rendang, tumis kangkung serta masakan lezat mama yang lain? Di perantauan, kami harus menyiapkan semua hidangan sahur dan berbuka sendirian atau masak bareng teman sekamar. Marhaban Yaa Ramadhan, Marhaban Yaa Kegalauan. Buka puasa bersama sepiring nasi, sepotong ikan, dan air mata yang berjejalan.
3. Mau video call, takut makin galau berantakan
Dengan kecanggihan teknologi sekarang, jarak serasa dipendekkan, dan kerinduan lebih mudah tersampaikan. Tapi apalah daya jika ber-video call atau face time bersama keluarga di rumah semakin memerah air mata.
4. Memasak hidangan yang membangkitkan kenangan
Karena sering membantu mama memasak di rumah, minimal hafal bumbu dan bahannya. Untuk menebus kerinduan, sajian rumah harus dihidangkan di tanah perantauan meski rasanya tak mungkin sama.
5. Tapi kantong lagi cekak, mie instan selalu jadi dewa penolong
Mama selalu berpesan agar kami pintar mengelola keuangan dan sehat memilih hidangan. Tapi apalah daya jika terlalu banyak bersenang-senang di awal bulan berakibat buruk di akhir perjalanan. Ekspektasi berbuka puasa dengan chicken roll dan salad, realisasi hanya semangkuk mie instan berteman sepi dan kenyataan.
6. Karaoke pakai Smule sambil ngabuburit
Untuk membunuh waktu, kami kerap seru-seruan. Berhubung budget pas-pasan, karaoke cukuplah di kamar, bermodal gadget dan aplikasi pintar. Smule adalah dewa penolong kedua setelah mie instan yang mampu menggenapkan kebahagiaan di perantauan.
7. Makan rame-rame mirip supporter bola
Daripada fokus pada kesedihan, lebih baik menciptakan momen kebersamaan yang baru bersama teman-teman. Salah satu kelebihan anak rantau adalah soal kekompakan dan kebersamaan. Masak bersama, makan bersama, meriahnya asrama menjelma lapangan bola.
8. Trip ke suatu tempat
Puasa tak harus di rumah (baca: asrama, kostan), jadi sah-sah saja jika kami merencanakan trip ke suatu tempat. Mumpung sedang liburan, mumpung tak ada kesibukan, saatnya memanjakan hati serta pikiran. Lewat travelling kami bisa mengenal banyak hal, tak hanya bersenang-senang namun juga belajar arti kehidupan.
9. Menjalankan hobi
Tidak hanya untuk membunuh waktu, menjalankan hobi juga dapat mengasah softskill. Rasa lapar yang mendera saat berpuasa dapat dialihkan untuk berekspresi dan membentuk citra diri. Itulah sebabnya menjalankan hobi dapat digunakan sebagai metode menurunkan berat badan yang cukup efektif.
10. Tidur sepanjang hari
“Bahwa di dunia ini tak hanya dihuni orang-orang yang hobi fotografi tapi juga berselancar lewat mimpi. Tidurnya orang puasa adalah pahala, mari mencetak banyak pahala dengan tidur seharian.” (Shizuka, 24 tahun, Mahasiswa Akhir Zaman).
Demi langit dan bumi, kami tak setuju dengan pendapat semacam ini meski di antara kami juga banyak yang molor hingga lupa diri.
11. Mama minta sambal, Mama minta serundeng, Mama minta bumbu pecel...
Saat kerinduan tak mampu dibendung dan tiket pulang semahal gunung, yang bisa kami lakukan hanya mengharap kiriman dari kampung. Tak jarang mama menitipkan makanan kesukaan kami pada teman-teman yang beruntung bisa mudik Ramadan. Sambal, serundeng, bumbu pecel, kering tempe, abon sapi... biasanya kami jadi heboh sendiri mencatat banyak pesanan yang harus dipenuhi.
12. Menandai saat kepulangan dan berencana makan apa saja
Kisah di perantauan tak akan lengkap tanpa corat-coret tanggalan untuk menghitung waktu kepulangan. Kalender yang sudah penuh coretan masih dihiasi aneka gambar makanan. Sungguh, kami tak sabar ingin segera pulang dan menikmati bermacam hidangan hingga terisi cawan-cawan kerinduan.
13. Endingnya, kami tetap bahagia meski jauh dari keluarga
Saat memutuskan merantau, kami sudah paham konsekuensinya. Jauh dari keluarga hanyalah satu dari seribu tantangan yang ada. Sepahit apapun cobaan di perantauan, semua akan sebanding dengan manisnya buah keberhasilan. Bukankah di perantauan kami telah menemukan keluarga kedua?
Itu tadi 13 curhatan anak rantau karena tak bisa mudik saat Ramadan tiba. Apakah kamu pernah merasakannya? Bagaimana cara kamu mengatasinya? Share yuk di kolom komentar!
“Merantaulah. Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” - Imam Syafi’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar