Jumat, 10 Januari 2020

Melepas Kepahitan, Menyembuhkan Hati

Kisahku adalah tentang kepahitan. Sebuah kepahitan yang tak bisa terlupakan begitu saja, namun setidaknya masih bisa dijadikan sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga.

Kepahitan di kala itu benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping. Ingin rasanya segera mengakhiri hidup yang menurutku sudah tak ada gunanya lagi dipertahankan.

Bunuh diri. Itulah satu-satunya yang ada di benakku.
Bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidup yang penuh dengan 'drama' menjijikkan ini? Apakah aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan hidup yang wajar, normal, masa depan yang lebih baik dari hari ini? Itulah kekhawatiran terbesar yang selalu menghantui di saat aku mengalami depresi berat.

Bukan sekadar hitungan hari atau bulan saja jiwaku mengalami kesakitan yang tak pernah tampak dari luar ini. Bertahun-tahun lamanya aku harus bergulat dengan permasalahan yang selalu sama. Itu ... itu ... dan itu terus. Jenuh yang kurasa setiap kali terbangun dari tidur. Enggan rasanya aku membuka mata. Bukan karena malas bangun, tapi berharap penderitaan batin ini hanyalah sekadar mimpi belaka, bukan kenyataan hidup yang harus lagi-lagi kuhadapi. Tiap-tiap hari.

Selingkuh. Itulah 'makanan'ku setiap hari.
Perih, pedih. Melihat kenyataan pahit bahwa orangtuaku terang-terangan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Bukannya tak ada yang berani menegur, tetapi cinta buta telah menulikan hati mereka, sehingga jeritan hatiku tak pernah mau mereka dengar. Anak ingusan! Mungkin itu yang ada di benak mereka. Orangtua yang sedang kasmaran dengan selingkuhan, tak peduli beban malu yang harus ditanggung anaknya.

Seakan tak cukup pahit yang harus kurasakan, hubungan cinta dengan pacar yang sudah dirajut bertahun-tahun lamanya ternyata harus putus di tengah jalan. Cinta kami kandas karena kehadiran orang ketiga. Tak pernah terpikirkan olehku, kekasihku - orang yang amat kupercaya, mampu melakukan pengkhianatan itu.

Semua terjadi di waktu yang bersamaan. Tak seorang pun mengerti betapa hancurnya perasaanku kala itu. Tiada tempat untukku bisa mencurahkan isi hatiku. Orangtua tak bisa kuharap, kekasih yang selama ini menjadi sandaran tak bisa lagi kupercaya. Kuanggap semua lelaki pada dasarnya sama, pengkhianat cinta!

Benci. Muak. Aku kecewa pada Tuhan.
Tak hanya berhenti sampai pada perasaan benci dan muak melihat perselingkuhan di depan mata. Tetapi rasa kecewa kepada Sang Pencipta pun hadir di dalam hatiku saat itu.

Sebal. Mengapa Tuhan memberikan aku keluarga seperti ini? Jengkel. Mengapa Tuhan membiarkan aku bertemu dan kemudian berpacaran dengan lelaki yang tak mencintaiku sepenuh hati?

Perasaan campur aduk itulah yang akhirnya membuatku berontak pada diriku sendiri. Kemarahan dan keinginan untuk membalas dendam kepada setiap lelaki membuat aku suka bergonta-ganti pacar. Bukan karena cinta, melainkan hanya ingin mempermainkan perasaan mereka, ingin mencari sensasi dan perhatian semata. Coba katakan kepadaku, apa itu cinta?

Kemustahilan. Bagiku, cinta sejati itu mustahil ada. Di zaman ini, tiada lelaki setia dapat ditemukan di dunia nyata. Lelaki sejati sepertinya hanya ada di cerita dongeng Putri Salju atau Cinderella saja.

Lari dari kenyataan hidup, itulah akhirnya jalan yang kupilih. Pergaulan bebas dan tak lagi mencari Tuhan pikirku bisa memberi kelegaan untuk menghadapi hidup yg membosankan. Namun kebebasan yg kujalani pun rupanya tak membuat hidupku tentram. Sebaliknya, kehampaan hiduplah yang ujungnya kutemukan.

Lalu, harus ke mana lagi aku berlari?

Capek rasanya ...
Capek rasanya bertahun-tahun lamanya memanjatkan doa. Tak habis-habis mengadu dan mencari keadilan hidup, aku protes kepada Tuhan tanpa henti. Bahkan, tak jarang kutukan untuk manusia-manusia tak setia itu pun tak terelakkan terucap dalam doaku. Rupanya itu hanya menambah kebencianku kepada mereka.

Jika begitu, adakah gunanya aku berdoa demikian?

Bukankah doa itu seharusnya penuh kasih dan pengampunan? Bukankah lewat doa seharusnya kita menabur kasih Allah kepada sesama? Juga, bukankah ketika kita berdoa, kita sedang memohon pengampunan dari Tuhan dan melepaskan pengampunan kepada yang bersalah kepada kita? Begitu, bukan?

"Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan ... hendaklah kamu buang ...

sebagaimana Allah telah mengampuni kamu."

Secuplik kalimat itulah yang membebaskanku dari luka hati yang selama ini terpendam. Aku tak menyangkali lagi, batinku memang terluka. Hatiku keras, aku kunci pintu maaf rapat-rapat bagi mereka yang telah menyakitiku.

Namun teguran Allah yang penuh kelembutan ternyata mampu menyentuh kedalaman hatiku. Tak hanya Ia membuat diriku mampu berhenti membenci, Ia memampukanku melepaskan pengampunan. Bukan hanya luka hatiku yang Ia sembuhkan, relasiku dengan sesama juga Ia pulihkan.

Berhenti berlari. Akhirnya aku berhenti berlari.
Segenap kekhawatiran, aib yang selama ini berat kutanggung sendiri, kuserahkan kepada-Nya. Sejak itu, cara hidupku diubah-Nya. Yang lama telah berlalu, tak lagi sama, itu aku kini.

Pertolongan-Nya memampukanku mengambil sikap yang benar. Aku memilih menghormati orangtuaku, meski mereka tak bisa menjadi teladan bagiku. Aku bersyukur atas hidupku, atas setiap pahit getir yang kulewati.

Aku percaya, Tuhan memproses hidupku. Setiap kejadian pahit yang Ia izinkan kualami akan membentuk diriku menjadi semakin tangguh. Lewat semua yang kualami, Ia mempersiapkan aku untuk menemukan jodoh yang tepat pada waktu yang tepat.

Yang terindah, itu rancangan-Nya bagi hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar